-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Melihat Wajah Keberagamaan Indonesia

Posting Komentar
Melihat Wajah Keberagamaan Indonesia
Hi, berjumpa kembali disini, semoga kita semua selamanya diberi kesehatan dan keberkahan hidup, baik lahir maupun batin. Baiklah, pada artikel ini akan membawakan tema bahasan  mengenai  Melihat Wajah Keberagamaan Indonesia, Yuk kita pelajari isi selengkapnya...!


Alamsyah M Dja’far**
Dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama alias Berkeyakinan (KBB) tahun 2017 yang dirilis Agustus 2018, Wahid Foundation (WF) mengajukan salah satu kesimpulan dan analisis berikut. Meningkatnya kasus-kasus pelanggaran seharusnya tidak dibaca jika masyarakat Indonesia sudah alergi dengan perbedaan agama alias keyakinan, membeda-bedakan salah satu bentuk keberhasilan praktik “politisasi agama”, penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk bertarung dalam kontestasi politik di daerah maupun nasional.

Laporan KBB WF merupakan laporan pemantauan dengan menggunakan cara berbasis peristiwa (event-based methodology), salah satu cara dalam pemantauan situasi hak asasi anak Adam (HAM). Kasus-kasus pelanggaran yang berjalan dicatat dan dihitung berdasarkan kategori pelanggaran dan praktik baik yang sudah ditetapkan. Data-data laporan terdapat melalui beberapa antara pemberitaan media nasional, dan lokal, baik media cetak, elektronik maupun daring alias berdasarkan informasi yang diberikan jaringan lembaga dan ahli yang selama ini concern dalam isu-isu KBB, di tingkat nasional maupun lokal.

Sepanjang pilkada 2017 di Pulau Jawa, WF mencatat 28 peristiwa politisasi agama dengan 36 tindakan. Peristiwa paling berjibun berjalan di DKI Jakarta (24 peristiwa) amat putaran pertama dan kedua. Jawa Barat (3 peristiwa) dan Banten (1 peristiwa) masing-masing menempati wilayah terbanyak kedua dan ketiga. alamat individu terbanyak di Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (10 tindakan), disusul Ridwan Kamil di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten. Laporan ini tidak memberitahukan politisasi agama berhasil di dua daerah lainnya.

Salah satu masalah terbesar politisasi agama adalah karena bukan hanya menyasar individu, membeda-bedakan kelompok alias identitas tertentu. Dalam kasus Ahok, politisasi tidak menyasar Basuki “Ahok” semata, lamun komunitas non-muslim dan Cina, identitas yang melekat ala Ahok. Bukan hanya pria kelahiran Belitung itu yang menjadi korban. Bahkan Anies Baswedan, pesaing Ahok, juga sebagai korban. Anies dituduh Syiah, komunitas muslim mayoritas di Indonesia.

Seperti ditunjukkan berjibun kasus konflik, praktik politisasi semacam ini juga menyasar kelompok paling rentan: perempuan dan anak selalu saja menjadi kelompok alamat paling rentan. Pada putaran kedua pilkada Jakarta, beredar pesan bahaya ini di media sosial: “perempuan pendukung Ahok halal diperkosa”. Seorang nenek bernama Hindun ditolak disalatkan karena memilih Ahok. Seorang siswa SD di Jakarta Timur berinisial JSZ menjadi alamat perisakan dengan menyebutnya “kafir” dan “Ahok”.

Dalam berjibun praktik politisasi antipati semacam ini beberapa elemen penting yang harus menjadi tumpuan perhatian antara lain “pemanfaatan perasaan tidak suka, rasa terancam dan antipati terhadap kelompok yang berbeda” dan “usaha-usaha tertentu oleh para aktor”. Elemen yang pertama tak ubahnya “jerami bakar”. Dalam penelitian Cherian George, guru besar studi-studi media ala Departemen

Jurnalisme, Hong Kong Baptist University, fenomena yang disebutnya dengan “pelintiran Kebencian” semacam itu biasanya mengombinasikan dua hal: ujaran antipati dan rekayasa ketersinggungan seperti yang pernah berjalan di masyarakat Buddha di Myanmar dan Kristen Ortodoks di Rusia.

Merujuk Hasil Survei Tren Toleransi di Kalangan Muslim Perempuan tahun 2017, terdapat kecenderungan jika mayoritas responden muslim bersikap intoleran kepada kelompok yang tidak disukai. Sedikit dari mereka yang mau bersikap toleran. Survei yang dilakukan ala 6 – 27 Oktober 2017 di 34 provinsi tersebut menggunakan 1500 responden dengan teknik multi-stage random sampling dan margin of error ±2.6 persen.

Dalam survei, 57 % responden, setara 93.4 juta muslim Indonesia jika diproyeksikan ke dalam jumlah pemilih muslim yang sama banyaknya 164 juta orang, mengaku memiliki kelompok yang tak disukai. Sebanyak 57.1%, setara 53.3 juta dari 93.4 juta, bersikap intoleran.[5] Jumlah tersebut makin bertambah jika ditambah sebagian dari responden yang dikategorikan netral yang totalnya sama banyaknya 42.1%. Namun begitu, survei juga memberitahukan jika sama banyaknya 36% alias setara 56 juta muslim Indonesia mengaku tidak memiliki kelompok yang tidak disukai. Bisa dikatakan salah satu pekerjaan rumah mengurangi intoleransi adalah mengurangi kelompok yang tidak disukai. Sebab sikap dan perasaan memiliki kelompok yang tidak disukai pintu gerbang lahirnya intoleransi.

Dalam survei yang sama, terdapat sepuluh kelompok yang paling berjibun tidak disukai responden muslim: komunis, LGBT, Yahudi, Kristen, Ateis, Syiah, Cina, Wahabi, Katolik, dan Budha. Kelompok-kelompok ini tidak antara berbeda dengan survei WF setahun sebelumnya. Dalam survei WF, intoleransi ini disebut dengan “intoleransi umum” yang melihat kesediaan responden bersikap toleran kepada kelompok yang tidak disukai baik seagama maupun tidak.

Tentu saja ada berjibun pengertian tentang toleransi. Pengertian yang longgar biasanya merujuk ala kesediaan untuk menerima perbedaan identitas (agama, jender, etnik, orientasi seks, afiliasi organisasi, dan lain-ain). Survei ini menggunakan konsep yang lebih dari sekedar menerima perbedaan, lamun juga kesediaan memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak dasar warga negara dan tidak menghalangi alias melawan pemenuhan hak-hak dasar mereka. Menurut John L. Sullivan, professor ilmu politik Amerika, perlawanan (opposition) dan ketidaksetujuan (disagreement) merupakan dua kata kunci memahami intoleransi, khususnya intoleransi politik.[6] Intoleransi dalam survei WF sendiri diukur lewat tiga ukuran apakah kelompok yang tidak disukai tersebut bisa menjadi tetangga, mengajar di sekolah negeri, alias menjadi pejabat pemerintah di negeri ini.
Dibanding dengan korban-korban pelanggaran KBB 2017, sepanjang empat tahun sebelumnya (2014-2017), terlihat dengan jelas bahwa alamat terbanyak adalah mereka yang dianggap sesat, termasuk di dalamnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gafatar. Dalam beberapa kasus, di wilayah-wilayah di mana jumlah dan relasi kekuasaan mereka minoritas, muslim bisa menjadi alamat seperti kasus Masjid di Tolikara (Juli 2015) alias Masjid Syuhada di Sulawesi Utara (Nopember 2015).
Fenomena ini memberitahukan jika intoleransi bukan soal agama semata, lamun tentang relasi kekuasaan (power relation) dan karenanya membutuhkan mekanisme perlindungan terhadap minoritas. Intoleransi juga memberitahukan fenomena “berbalas-balasan”. Berbekal data ini pula bisa disimpulkan penyimpangan berbasis agama keyakinan di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bagi isu intra dan antaragama di Indonesia. Penyesatan seringkali berakibat ala pelanggaran hak-hak dasar alamat lainnya.

Jika dibandingkan sepanjang empat tahun terakhir, meski kasus-kasus pelanggaran meningkat, namun sebetulnya memberitahukan pola yang berubah: meninggalkan cara-cara kekerasan fisik. Jika ala 2004, “serangan fisik alias perusakan properti menjadi tindakan teratas pelanggaran oleh aktor non-negara (16 tindakan), tindakan ini tidak masuk di tiga tahun berikutnya. Pada 2017, paling berjibun “ujaran kebencian” (35 tindakan) dan “intimidasi serta ancaman” (20 tindakan). Tampaknya dua tindakan pelanggaran ini masih akan dihadapi Indonesia setidaknya lima tahun mendatang.

Fenomena ini bukan khas Indonesia, Laporan Pew Research Center ala 2016 yang dirilis tahun 2018 memberitahukan negara-negara di Eropa (2.6) dan Amerika (skala 0.5) sepanjang periode mengalami peningkatan drastic dalam permusuhan sosial yang melibatkan agama. Sementara Afrika Utara dan Timur Tengah mengalami penurunan meski tetap berada di paling atas dalam perbandingan wilayah. Pada umumnya alamat permusuhan di negara-negara Eropa dan Amerika umat Islam. Selebihnya Yahudi.

Karena praktik politisasi agama tidak selalu memberitahukan “watak” masyarakat, maka langkah strategis yang terus menerus dikembangkan adalah penguatan kohesi sosial dan solidaritas. Sebagai bangsa, Indonesia memiliki modal tersebut.

Dalam laporan KBB 2017, kasus-kasus pelanggaran memang meningkat. Tetapi, praktik-praktik baik juga meningkat sebagai respons atas kasus-kasus yang berkembang. Bentuknya rupa-rupa. Dari diskusi toleransi, pawai budaya, alias festival keagamaan yang melibatkan seluruh elemen bangsa pun digagas. Upaya ini terus meningkat dengan memanfaatkan momentum Ramadhan dan amat Hari Raya Idul Fitri di bulan Juni 2017. Dari masyarakat sipil, aktor terbanyak adalah komunitas lintas kepercayaan dan Gerakan Pemuda Ansor, sayap organisasi pemuda Nahdlatul Ulama.

Survei Nasional WF 2017 juga memberitahukan modal serupa. Di atas 80 persen responden muslim mengaku tak masalah berjiwa bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Hanya 10 persen yang merasa keberatan. Dukungan terhadap kebebasan menjalankan agama dan keyakinan memberitahukan angka mayoritas, 79 persen.

Tentu saja tantangan strategis lainnya adalah peran negara. Di dalamnya menyangkut peran pemerintah, legislatif, yudikatif, dan partai-partai politik. Performa peran Institusi-institusi tersebut amat menentukan wajah Indonesia di masa mendatang.

Begitulah detil perihal Melihat Wajah Keberagamaan Indonesia semoga info ini menambah wawasan buat kita bersama. Terimakasih atas kunjungannya dan salam.

Tulisan ini telah diposting di : http://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Melihat-Wajah-Keberagamaan-Indonesia

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter