-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Fase Perkembangan Islam Di Indonesia

Posting Komentar
Fase Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang berliku serta menempuh perjalanan yang cukup panjang hingga bisa sampai seperti saat ini.

Fase Perkembangan Islam Di Indonesia

Indonesia kini menjadi negeri yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Kendati dalam penerapan undang-undang negara yang menjadi azasnya ialah Pancasila.

Perjalanan sejarah telah membentuk negara Indonesia menjadi negara yang menganut paham demokrasi.

Demokrasi menjadi jembatan untuk menyatukan beragam suku, ras, budaya, bahasa serta agama yang ada dinegeri ini.

Para penggagas dimasa lalu, telah memahami keragaman yang ada di Indonesia, sehingga semuanya bersepakat dalam menentukan jenis negara yang harus diterapkan di Indonesia.

Barikut ini adala tahapan-tahapan perkembangan Islam di Indonesia.

Masa Kesultanan

Di wilayah yang sedikit sekali tersentuh kebudayaan Hindu-Budha, seperti di daerahdaerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera, di Banten dan Jawa,

ajaran Islam berhasil mempengaruhi kehidupan sosial dan politik para penganutnya sehingga di daerahdaerah tersebut agama Islam dapat menampilkan diri dalam berbagai bentuk.

Di kerajaan Banjar, dengan masuknya sang raja ke dalam agama Islam, perkembangan Islam menjadi semakin mudah karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain,

hingga membawa masyarakat Banjar kepada kehidupan yang benar-benar bersendikan Islam.

Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi (hakim) atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf.

Di kerajaan ini, telah dilakukan pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum Islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam.

Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol, bahkan berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.

Termasuk di Jawa, guna memadukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, maka dilakukan berbagai upaya agar Islam dan tradisi Jawa dapat bersinergi satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid-masjid sebagai pusat pendidikan Islam.

Dengan adanya kelonggaran-kelonggaran dalam proses penyebaran Islam tersebut, para petinggi dan penguasa kerajaan semakin tertarik memeluk agama Islam.

Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke wilayah kerajaannya, maka rakyat pun akan serta merta turut masuk agama tersebut dan melaksanakan ajarannya.

Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimmana yang terjadi di kerajaan Mataram ketika dipimpin oleh Sultan Agung.

Saat Sultan Agung memeluk ajaran Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram pun ikut pula masuk Islam.

Masa Penjajahan

Ditengah proses transformasi sosial yang relatif damai antara penyebar agama Islam dengan para penguasa dan masyarakat lokal, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu Portugis, kemudian Spanyol, disusul Belanda dan Inggris.

Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara.

Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.

Dan sejak kedatangan Snouck Hurgronje yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijakan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh.

Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islam di Indonesia.

Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
Bidang agama murni atau ibadah;
Bidang sosial kemasyarakatan; dan
Politik.

Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial Belanda memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.

Adapun dalam bidang sosial kemasyarakatan,

pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi pemberlakuan hukum Islam,

yakni teori reseptie, yang maksudnya adalah: hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.

Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.

Pergerakan dan Organisasi Islam

Akibat dari “resep politik Islam” Snouck Hurgronje, menjelang permulaan abad XX umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga macam perlakuan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide et impera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.

Namun ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi.

Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia ditandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.

Akibat dari situasi ini, timbul perkumpulan-perkumpulan politik baru dan pemikirpemikir politik yang sadar diri.

Karena persatuan dalam organisasi Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islam yang dapat masuk dalam organisasi tersebut, maka para pejabat dan pemerintahan  (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan.

Persaingan antar organisasi dan partai-partai politik saat itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri, dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan.

Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam di Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam,

telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu di kalangan kaum muslim terdapat dua kubu: para cendekiawan muslim yang berpendidikan Barat, dan para kiai serta ulama tradisional.

Selama pendudukan Jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslim dari pada kelompok nasionalis, karena mereka berusaha menggunakan doktrindoktrin agama untuk tujuan perang mereka.

Ada tiga perangkat politik yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang dianggap menguntungkan kaum muslim, yaitu:
a). Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi pada zaman Belanda.
b). Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943.
c). Hizbullah, semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslim NU yang dipimpin oleh Zainul Arifin.

Perkembangan Islam di Wilayah-Wilayah Nusantara

Perkembangan Islam di Sumatera

Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia Tenggara telah bersentuhan dengan tradisi Islam. Ini terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah untuk beberapa waktu.

Di Indonesia, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan bukti adanya makam Sultan Malik al-Saleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara.

Pada makam tersebut tertulis bahwa ia wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 H/1297 M. Dalam Hikayat Raja­raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik al-Saleh digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudera Pasai.

Untuk menjustifikasi teori ini, Moquette membandingkan data di atas dengan data historis yang lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada tahun 1292 M.

Selama berlangsungnya proses Islamisasi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat telah terjalin sangat intens hingga sebuah kerajaan Islam berdiri pada abad ke-13 M, yakni kerajaan Samudera Pasai.

Berdirinya kerajaan tersebut bisa dihubungkan dengan lemahnya kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M, sebagaimana dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling WaTai­Ta (1178 M). (Tjandrasasmita, 13-14). 

Berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera.

Selain kerajaan Samudera Pasai, ada kerajaan Perlak dan kerajaan Aceh. Pada tahun 1978, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu nisan di situs Tuanku Batu Badan di Barus.

Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Shafar 602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari Pusat Riset Arkeologi Nasional.

Tapi ada juga penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri meninggal pada 19 Shafar 972.

Dari temuan arkeologis di Barus itu, dapat dikatakan bahwa usia batu nisan Tuhar Amsuri yang tertanggal 602 adalah lebih awal dari batu nisan Sultan Malik As-Salih yang tertanggal 696 H.

Ini berarti, jauh sebelum kerajaan Samudera Pasai, sudah ada masyarakat muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmita, 15-16).

Perkembangan Islam di Kalimantan

Penduduk asli Pulau Kalimantan disebut masyarakat Dayak.

Orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan terdiri atas beberapa suku. Masing-masing suku mempunyai sistem kepercayaan sendiri.

Tetapi pada dasarnya antar kepercayaan mereka itu mempunyai banyak persamaan. Istilah paling populer untuk menyebut aliran kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan.

Penduduk asli Kalimantan pada proses selanjutnya banyak yang terdesak ke arah pedalaman akibat masuknya masyarakat lain dari luar.

Di arah pesisir barat terdesak oleh orang-orang Melayu dan China; di bagian selatan terdesak oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa; dan di bagian tenggara terdesak oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu.

Masyarakat Dayak yang mendiami daerah-daerah pedalaman Kalimantan tersebut dapat dibagi atas 7 macam suku, yakni:

  • Suku Dayak Kenya dan Bahau yang mendiami pedalaman Mahakam.
  • Suku Dayak Punan, yang mendiami pedalaman daerah Berau.
  • Suku Dayak Siang, yang mendiami pedalaman Barito Hulu.
  • Suku Dayak Kayan, yang mendiami perbatasan Serawak.
  • Suku Dayak Iban dan Kalimantan, yang mendiami pedalaman Kalimantan barat dan utara.
  • Suku Dayak Ngaju, yang mendiami pedalaman Kapuas, dengan suku-suku kecilnya, yakni: Dayak Lawangan, yang mendiami pedalaman Barito Timur; Dayak Manyan, yang mendiami pedalaman Balangan dan Barito Selatan; Dayak Ot Danum, yang mendiami pedalaman Tumbang Siang, Tumbang Miri, Tumbang Lahang dan sekitarnya.


Munculnya suku Banjar pada tahap selanjutnya, yang mendiami daerah Kalimantan Selatan, adalah keturunan yang lahir dari percampuran orang-orang Melayu dan Jawa serta Olo (orang) Ngaju yang telah bercampur dan menikah selama beberapa generasi di daerah tersebut.

Percampuran itu ditambah lagi dengan pendatang lain seperti orangorang Bugis, China, India dan Arab.

Unsur-unsur animisme, dinamisme, dan spiritisme atau daemonisme yang terdapat dalam kepercayaan Kaharingan, merupakan unsur-unsur yang ternyata masih berpengaruh dalam tradisi kehidupan masyarakat orang Banjar kemudian.

Orang Banjar pada umumnya menjunjung tinggi ajaran Islam, tetapi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ibadah dan amaliyah masih banyak yang belum dapat melepaskan diri dari tradisi-tradisi kepercayaan dan agama yang berkembang sebelumnya.

Memasuki abad ke 17, Banjarmasin menjadi bandar perdagangan yang ramai.

Hal ini terjadi karena adanya tindakan Kerajaan Mataram yang menyerang dan menghancurkan kota-kota di pantai utara Jawa, sehingga para pedagang pindah secara besar-besaran ke Makasar dan Banjarmasin.

Sejak saat itu mulai terjadi perubahan jalan dagang ke Maluku melalui Makasar, Kalimantan Selatan, Patani dan China, atau dari Makasar dan Banten ke India.

Orang Banjar pada waktu itu sudah banyak yang melakukan pelayaran berdagang ke luar daerah. Tradisi berlayar ini memberikan kemungkinan kepada orang Banjar untuk melakukan ibadah haji ke Makkah dengan menggunakan kapal-kapal sendiri.

Mereka yang pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah biasanya tinggal beberapa tahun di sana sambil belajar agama Islam.

Mereka kemudian pulang dengan membawa pengetahuan dan kitab-kitab dari Makkah.

Semakin banyak orang Banjar yang datang dari Makkah semakin banyak pandangan-pandangan baru yang masuk ke daerah ini.

Namun demikian, sampai dengan awal abad ke-18 nilai-nilai baru yang masuk bersama orang-orang Banjar yang datang dari Mekah tersebut tidak banyak nampak di masyarakat.

Usaha penyebaran agama Islam yang bersumber langsung dari Makkah tersebut baru dimulai pada pertengahan abad ke-18,

yakni oleh seorang ulama kelahiran Martapura yang lebih dari 30 tahun memperdalam ilmu agama di Makkah dan Madinah, yakni Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Perkembangan Islam di Sulawesi

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, telah sejak lama terjalin hubungan satu sama lain, baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.

Hubungan ini pula yang mengantarkan aktivitas dakwah dapat menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.

Menurut catatan perusahaan dagang Portugis yang datang pada tahun 1540, saat mereka datang ke Sulawesi di pulau itu sudah bisa ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah.

Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa di Makassar.

Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al-Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir, Karaeng Matopa, pada tahun 1603.

Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayah Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari Ternate yang lebih dulu memeluk Islam.

Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.

Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka.

Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro.

Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar Datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.

Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa pada proses selanjutnya berhasil melanjutkan dakwah hingga ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanete, Luwu dan Palopo.

Perkembangan Islam di Maluku

Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman dulu dikenal dan dikunjungi para pedagang dari seantero dunia.

Karena status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan lainnya.

Kerajaan Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun 1440.

Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja Ternate adalah seorang muslim, yakni Bayang Ullah.

Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.

Ada pula Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainul Abidin yang bersyahadat pada tahun 1521.

Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.

Perkembangan Islam di Papua

Beberapa kerajaan di kepulauan Maluku yang wilayah teritorialnya sampai ke pulau Papua menjadikan Islam masuk pula di pulau Cendrawasih ini.

Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool, dan beberapa daerah lain yang di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.

Pada periode ini pula, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala suku di pulau Papua memeluk Islam. Namun dibanding wilayah lain, perkembangan Islam di Papua ini bisa dibilang tak terlalu besar.

Perkembangan Islam di Nusa Tenggara

Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan Makassar membuat Islam turut berlayar pula ke Nusa Tenggara.

Sampai kini jejak Islam bisa dilacak dengan meneliti makam seorang mubaligh asal Makassar yang terletak di kota Bima.

Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk Islam. Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para muslim sejak semula.

Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di sana.

Hingga kini, beberapa kata di suku-suku Lombok banyak kesamaannya dengan bahasa Bugis.
Asep Rois
Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter