-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Mengawali Budaya Damai Dari Pendidikan Agama Disekolah

Posting Komentar
Mengawali Budaya Damai Dari Pendidikan Agama Di Sekolah - Damai adalah isi pokok dari pesan yang disampaikan oleh para Nabi dan para Rasul semenjak awal penciptaan manusia. Oleh karenanya “upaya untuk memelihara kedamaian’ atau anjuran untuk selalu memelihara hidup dengan damai, bukan sesuatu yang baru muncul.

Mengawali Budaya Damai Dari Pendidikan Agama Disekolah

Damai merupakan budaya yang muncul sejak manusia pertama diturunkan ke bumi yang selalu diperbarui sesuai keadaan dan konteks yang muncul pada zamannya. Secara artikulatif, pengarusutamaan ‘budaya damai’ (mainstreaming the culture of peace) muncul dalam keadaan jaman yang penuh kekerasan, kezaliman, penindasan serta beberapa hal lainnya yang melanggar hak asasi manusia.

Di jaman moderen, saat Perang Dunia ke-2, ide serta pergerakan ‘Budaya Damai (culture of peace)’ pertama-tama dikenalkan dalam satu pertemuan Internasional “Congress on Peace in the Minds of Men” pada tahun 1989, di kota Pantai Gading (Côte d’Ivoire).

Pertemuan itu mereferensikan supaya UNESCO menjadi Badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mampu mendorong dan meningkatkan budaya damai berdasarkan pada nilai-nilai universal, misalnya: respect for life (menghargai hak hidup), liberty (kebebasan), justice (keadilan), solidarity (solidaritas), tolerance (toleransi), human rights (Hak asasi manusia) and equality between men and women (kesetaraan pria serta wanita)’. Peristiwa itu bersamaan dengan mulai stabilnya keadaan dunia internasional yang ditandai dengan berakhirnya perang dingin serta runtuhnya tembok Berlin di Jerman.

Dalam konsepsi UNESCO, damai (peace) di artikan dengan luas.

‘Peace is more than an absence of war. It means justice and equity for all as the basis for living together in harmony and free from violence, now, but even more so for our children and succeeding generations’.
Perdamaian lebih dari seksedar tidak adanya perang. Ini berarti keadilan dan kesetaraan bagi semua orang sebagai dasar untuk hidup bersama secara harmonis dan bebas dari kekerasan, sekarang, tetapi lebih dari itu bagi anak-anak kita dan generasi selanjutnya.

Menindaklanjuti pertemuan di Pantai Gading, jadi pada tahun 1992 UNESCO’s Executive Board membuat program spesial untuk Budaya Damai menjadi salah satu bagian penting dari program perdamaian PBB (United Nations peacekeeping efforts). Pada tahun 1994, diadakan ‘International Komunitas on the Culture of Peace’ yang pertama, di San Salvador (El Salvador).

Diteruskan pada tahun 1995, UNESCO mengenalkan ide ‘Culture of Peace’ dalam program strategis periode menengah (1996–2001). Serta selama kurun waktu itu (1996–2001), PBB sudah mensponsori rangkaian pekerjaan mengenai Culture of Peace, dengan menyertakan beberapa LSM, organisasi sosial, wartawan, pemimpin agama di beberapa negara. Pada tahun 1997, PBB mengambil keputusan tahun 1997 menjadi tahun Internasional untuk Budaya Damai.

Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, PBB mencanangkan tahun 2001–2010 menjadi dekade Internasional untuk Budaya Damai serta Anti Kekerasan (‘International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World’). Setelah itu pada tahun 1999, PBB mengambil deklarasi serta program tindakan mengenai Budaya damai yang mencakup 8 segi, yaitu:

  1. Pelihara Budaya Damai melaui pendidikan untuk semua (Fostering a culture of peace through education by promoting education for all);
  2. Mempromokan pembangunan sosial-ekonomi berkepanjangan dengan tujuan untuk mengurangi kemiskianan (Promoting sustainable economic and social development by targeting the eradication of poverty);
  3. Mempromokan penghargaan pada hak-hak asasi manusia (Promoting respect for all human rights); 
  4. Jaminan kesamaan hak wanita serta lelaki, termasuk juga dalam segi ekonomi (Ensuring equality between women and men by integrating a gender perspective and promoting equality in economic); 
  5. Menjaga dan memelihara demokrasi partisipatif dengan mengajari tanggungjawab kepada masyarakat disetiap negara (Fostering democratic participation by educating responsible citizens); 
  6. Meningkatkan pandangan pada toleransi serta solidaritas lewat dialog antar peradaban (Advancing understanding, tolerance and solidarity by promoting a dialogue among civilizations); 
  7. Memberi dukungan komunikasi aktif kebebasan info serta pengetahuan buat semua pihak (Supporting participatory communication and the free flow of information and knowledge); 
  8. Mempromosikan nilai-nilai perdamaian serta keamanan internasional (Promoting international peace and security). 


Pada waktu yang sama dalam dekade itu, Indonesia tengah mengalami rangkaian kekerasan fisik serta perang saudara, misalnya: di Aceh (Sumatera), Sampit (Kalimantan), Poso (Sulawesi), serta Ambon – Ternate (Maluku). Kekerasan dalam bentuk fisik itu telah menggiring ajaran agama serta umat beragama untuk bertindak dengan tindakan yang malah dikutuk oleh agama itu sendiri.

Pengalaman itu bisa disebutkan menjadi trauma bagi sejarah bangsa ini, serta tak boleh terulang lagi. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan kembali pihak-pihak yang telah terlanjur berkonflik. Beberapa instansi sosial penduduk (LSM) yangg fokus pada rumor resolusi perseteruan, turun ke lapangan untuk melakukan berbagai kegiatan pendampingan serta analisis tindakan (action research) untuk mengakhiri perseteruan.

Instansi pendidikan sibuk melakukan konseling, therapy serta perlakuan trauma pada anak-anak di daerah pasca-konflik. Ikhtiar optimal diletakkan pada bidang pendidikan untuk melokalisir jangka waktu perseteruan, tidak berkelanjutan dan tidak menurun pada generasi tersebut. Pendidikan mesti akan memutuskan mata-rantai dendam serta perasaan kedengkian antar grup perseteruan, hingga tidak terwariskan pada anak didik yang bisa menjadi generasi penerus bangsa Indonesia.


Peranan Instansi Pendidikan

Sekolah jadi tempat disematkan keinginan buat anak-anak. Sebab dengan sosial, dia jadi tempat pertama di mana seseorang anak pertama-tama bersosialisasi serta bergaul dengan anak-anak seumuran yang mempunyai ketidaksamaan serta kekhasan semasing. Sama dengan prinsip individu-kemanusiaan, jika tiap-tiap orang ialah unik, baik itu sebab latar belakang ekonomi, sosial serta budaya keluarga, serta agama, bahkan juga sebab akar biologis yang di turunkan oleh orang tuanya.

Kekhasan tiap-tiap anak itu terekspresi demikian rupa yang lalu melahirkan beberapa pesona ketidaksamaan di lingkungan sekolah. Ketidaksamaan itu bisa jadi penyebab pertentangan yang lalu terekspresi jadi tingkah laku bully serta kekerasan, atau bisa jadi penyebab buat pertemanan serta bertemanan. Ke-2 bentuk tingkah laku itu mempunyai kesempatan peristiwa yang sama, bergantung pada dasar-dasar nilai, budaya, serta iklim sekolah yang dibuat oleh komune serta civitas akademika di sekolah itu.

Guru menjadi tuan (rumah) di sekolah yang bekerja mengelolah nilai-nilai kebudayaan serta iklim sekolah baik lewat evaluasi di kelas atau evaluasi di luar kelas, mempunyai peranan penting untuk mengarahkan tingkah laku anak sekolah lebih condong menghayati serta mengamalkan budaya damai, pertemanan serta persahabatan dalam menanggapi ketidaksamaan yang ada diantara siswa.

Iklim sekolah yang dibuat oleh beberapa faktor misalnya: etika serta ketentuan sekolah, bentuk jalinan antar aktor seperti siswa, guru, staf serta pimpinan sekolah, dan rekanan dengan aktor-aktor serta aspek di luar sekolah, begitu punya pengaruh pada prestasi serta sikap siswa, bahkan juga pada sikap serta motivasi guru dalam mengajar.

Banyak laporan penelitian baik berupa skripsi, atau disertasi yang menjelaskan jalinan pada persepsi anak pada iklim sekolah dengan motivasi belajar atau pada prestasi belajar.

Tempat Guru serta Mata pelajaran Pendidikan Agama

Lantas, di mana tempat guru agama dalam membuat iklim serta budaya sekolah yang aman, nyaman, serta damai?

Dengan sosial, anak didik yang ada di sekolah tentu berpedoman agama spesifik yang di turunkan dari keluarganya (orang-tuanya). Agama jadi salah satunya simpul jati diri anak. Serta dengan substantif, agama itu (yang diyakini oleh anak peserta didik) memberi pesan-pesan kebaikan pada sang anak. Itu terjadi di dalam rumah, sebelum anak masuk sekolah.

Banyak tingkah laku serta rutinitas ‘baik’ peserta didik yang telah tercipta atas landsasan agama yang dianutnya. Banyak permasalahan yang bisa dituntaskan lewat jalan agama. Akan tetapi perubahan sosial yang berlangsung membuat pandangan keagamaan di kelompok remaja atau pelajar condong terdegradasi oleh beberapa kegiatan non-agama, hingga dengan tidak diakui sudah menghindari nilai-nilai religius dalam kehidupan anak. Tiada diakui, agama tidak jadi landasan dalam berlaku, serta berperilaku.

Meski begitu, saat yang bertepatan, penduduk masih tetap (tetap) memberi stereotipe jika tingkah laku menyelimpang remaja menjadi kekeliruan atau kekurangan dari guru agama. Guru agama serta mata pelajaran (mapel) pendidikan agama di sekolah jadi kambing hitam dari tingkah laku sosial yang menyelimpang.

Menjadi pegiat yang menekuni dalam bagian pendidikan agama serta keagamaan, stereotype itu, mesti dilihat dengan bijaksana, tidak untuk mempersalahkan penduduk. Sebab hal itu ialah tanda-tanda besarnya keinginan penduduk pada pendidikan agama. Stereotype itu mesti jadi pendorong serta penyebab untuk tingkatkan kapasitas beberapa pegiat pendidikan agama di sekolah.

Berkaitan dengan budaya damai serta anti-kekerasan, agama mempunyai kekuatan untuk digunakan dengan positif atau negatif, bergantung orangnya. Ketidaksamaan agama yang sudah jadi kenyataan buat kehidupan berbangsa, bermasyarakat serta bernegara di Indonesia bila tidak dimengerti dengan baik serta bijaksana oleh penduduk, bisa jadi basic indoktrinasi untuk membetulkan aksi seorang memusuhi agama yang berlainan dengan yang dia anut.

Agama seringkali jadi penyebab perseteruan serta kekerasan dalam penduduk Indonesia, karena kesalahan serta minimnya pandangan pada ajaran agama yang diyakini. Untuk meluruskan beberapa hal itu, jadi diperlukan profil yang mengerti agama serta mempunyai wacana berkebangsaan yang baik. Guru agama di sekolah dilihat menjadi aktor yang mempunyai prasyarat untuk menjalankan peranan itu.

Guru agama mempunyai peluang untuk berhubungan langsung dengan siswa, tahu pandangan beragama siswa, serta mengarahkan pada pengamalan agama yang bernilai serta produktif.

Pendidikan agama di sekolah adalah salah satunya instrumen negara dalam bangun memahami keagamaan (terpenting serta minimum pada anak didik umur sekolah) yang sesuai dengan harapan serta arah negara.

Pendidikan agama di sekolah mesti penuhi manfaat minimalnya, yaitu ‘menjaga kedamaian serta kerukunan jalinan inter serta antar umat beragama’. Serta dalam kerangka itu jadi guru agama adalah agen negara dalam bangun budaya damai lewat pendidikan agama.

Untuk melakukan peranan itu GPA harus mempunyai wacana serta pengetahuan multikulturalism, selain mengerti dengan dalam inti serta pokok dari ajaran agama yang diyakini serta di ajarkan pada siswa.

Multikulturalisme adalah arti yang sangat merepresentasikan deskripsi mengenai Indonesia. Tidak ada ungkapan yang sangat pas untuk memberi gambaran mengenai keadaan kenyataan Indonesia tidak hanya dengan mengatakan menjadi negara yang plural dalam maknanya yang sebenarnya. Multikulturalisme telah jadi sunatullah, kehendak Tuhan yang given, hingga menentangnya sama juga dengan menentang Tuhan yang sudah berkehendak dengan ciptaan-Nya (Zuly Qodir; Fiqhi Kebhinnekaan, 2015).

Pandangan serta penghayatan pada bukti multi-kulturalisme yang berada di Indonesia, akan mempermudah guru berdamai dengan diri serta lingkungannya yang berlainan. Menyepakati serta membiarkan suatu yang diamalkan serta dipercaya oleh orang yang lain, walau itu berlainan dengan pandangan nalar serta logikanya. Sikap ini bisa dimaksud dengan arti ‘agree in disagrement’, berarti setuju dalam ketidaksamaan (Biyanto, 2015).

Dengan pandangan keagamaan, wacana berkebangsaan, serta multikulturalism, guru pendidikan agama bisa jadi ‘pribadi dialogis’, yaitu orang yang mempunyai kemampuan mental untuk berbicara dengan beberapa pihak yang berlainan agama, kebudayaan, serta kepribadian.


Beberapa ciri pribadi dialogis mencakup:


  1. Utuh serta autentik. Utuh bermakna memberi respon pada orang yang lain dengan semua pribadi, bukan dengan pribadi yang setengah-setengah, dia bicara dengan sepenuh hati. Disebutkan autentik sebab seorang menghormati orang yang lain menjadi pribadi, bukan memperalatnya untuk kebutuhan pribadi. 
  2. Terbuka. Dia bersedia serta mampu mengutarakan diri pada orang yang lain, bersedia serta mampu dengar serta terima ungkapan diri orang yang lain, masukan sekalinya. 
  3. Disiplin. Dia patuhi dengan bertanggungjawab peraturan dialog. Dia bicara bila ada suatu yang perlu disebutkan atau melakukan perbuatan bila ada suatu yang perlu dituntaskan tak perlu keluar dari kerangka perbincangan yang ada (M. Tafsiran,2015). 


Dari penjelasan diatas, tidak terlalu berlebih bila keinginan besar untuk membangun budaya damai di Indonesia di berikan pada guru serta mata pelajaran Agama di sekolah. Bersama dengan guru serta mata pelajaran lainnya di sekolah, terpenting pendidikan kewarganegaraan, usaha pelihara serta mengapresiasi iklim serta budaya sekolah yang aman, nyaman serta damai jadi pekerjaan penting serta tanggung jawab guru agama.

Guru agama mempunyai modal yang cukuplah untuk mengemban tanggungjawab itu. Dengan sosial, guru agama telah memperoleh mandat/keyakinan dari orangtua siswa selalu untuk berpesan pesan kepribadian yang berisi kebaikan menjadi basic pembentuk budaya damai. Dengan formil ikut, guru pendidikan agama telah memperoleh modal untuk memberikan serta menyebarluaskan kebaikan itu lewat beberapa jalan pendekatan, yaitu intra-kurikuler, co-kurikuler, serta ekstra-kurikuler.

Mudah-mudahan iklim serta budaya damai yang terbentuk serta terpelihara di sekolah, bisa menjadi virus buat budaya damai di Indonesia serta dunia dengan global.
Asep Rois
Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter