-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Kafir Dan Muwathin Berada Dalam Kategori Yang Berbeda

Posting Komentar
Kafir Dan Muwathin Berada Dalam Kategori Yang Berbeda | Agar netizen memiliki pandangan yang luas mengenai permasalahan yang sedang muncul ke permukaan, maka tulisan dari Prof Dr Din Syamsuddin MA dibawah ini sangat wajib di baca.

Kafir Dan Muwathin Berada Dalam Kategori Yang Berbeda

Untuk mndptkan pandangan yng jernih tentang istilah kafir yng mnjadi kontroversi setelah Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, PWMU.CO mnurunkan secara lengkap tulisan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Dr Din Syamsuddin MA. Redaksi PWMU
***
Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung kerana khawatir polemik brkepanjngan dan hanya akan mmalingkan perhatian umat Islam dari agenda mndesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan.

Semula saya brharap segenap elemn umat agar mnghindarkan diri dari mngangkat isu-isu yng krusial dan kontroversial apalagi pda tahun politik yng sensitif sekarang ini.

Pda hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi krena sudah trlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yng faqir ini mnyampaikan pandangan sebagai brikut:

Pertama, saya mnilai ada krancuan dlm mngaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) krena kedua istilah brada dlm kategori brbeda; kafir brada dlm kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dlm kategori sosial-politik.

Polemik brkembang rancu, baik krena penjelasan publik awal dari Munas Ulama NU ada mngaitkan keduanya—dlm kehidupan brbangsa dan brnegara tdk ada istilah kafir tapi muwathin—dan polemik kemudian brkembang pda konseptualisasi kafir secara teologis (brdasarkan asumsi bahwa Munas mnafikan atau mniadakan istilah kafir). Trjadilah semacam krancuan atas krancuan (tahafutut tahafut).

Makna Kata Kafir
Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yng disebut 525 kali dlm Alquan adalah dalalah Ilahiyah (penunjukan Ilahi) trhadap perilaku, sosok, dan figur manusia trtentu. Alquran mmang ada mnyebut dlm bentuk kelompok, Alqaumul Kafirun, tapi banyak dlm nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).

Kerananya, kafir mrupakan konsep teologis sekaligus etis—brhubungan dgn pandangan ketuhanan dan sikap trhadap hal ketuhanan. Sesuai arti harfiyahnya yaitu “mnutup”, maka kafir mnunjukkan perilaku mnutup diri, tdk mau mnerima, atau mngingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaram Allah yng diturunkan sebagai wahyu kepda manusia melalui rasul-rasul pilihan-Nya.

Dlm hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepda mreka yng tdk briman kepda Allah dan ajaran-ajaran-Nya, atau kepda mreka yng walaupun briman kepda Allah tapi mmbangkangi ajaran-ajaran-Nya dan tdk brsyukur atas nikmat-Nya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat).

Alquran juga mngenalkan konsep-konsep etis lain yng brhubungan dgn konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan dzhalim. Semuanya mnurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dlm Islam.

Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepda manusia yng tdk briman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam.

Sebenarnya istilah tentang “orang luar” ini biasa dlm setiap agama yng mmiliki kritria keyakinan (bench marking of belief). Orang yng tdk mmnuhi kritria trsebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others).

Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, mmiliki istilah atau konsep tentang “orang luar” dan “orang lain ini”. Dan itu trmaktub dlm Kitab Suci. Istilah semacam ini brsifat datar saja dan tdk mnimbulkan kebratan dari pihak lain, baik kerana mmakluminya maupun kerana mmang mreka mrasa bukan “orang dlm” lingkaran keyakinan trsebut.

Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir trsebut dipakai dlm nada labelisasi negatif atau pejoratif yng brsifat mnghina atau mnista.

Kafir di Zaman Nabi
Dlm sejarah Islam, khususnya pda masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yng dinyatakan Allah dlm Alquran tdk pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dgn pemeluk agama-agama lain yng ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Mreka disebut dgn nama komunitas keagamaannya masing-masing, atau trhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab” (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dlm arti brada di luar akidah Islam tdk mnjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman trhadap orang luar Islam (konsep).

Dlm pergaulan antar umatbragama, trmasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama trsebut trhadap “pihak lain atau pihak luar”, seperti pemanggilan dgn kata kafir dan sejenisnya, tdk populer di ruang publik.

Bahkan sekarang, pda era dialog dan krja sama antaragama, baik pda skala global maupun nasional, sering dipakai istilah “pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dan setrusnya. Bahkan istilah bahasa Inggris yng sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama-agama lain).

Jelasnya, istilah atau konsep kafir yng tdk mungkin dinafikan atau ditiadakan, mngalami transformasi pemakaian dlm konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.

Muwathin atau Warga Negara
Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain. Konsep ini sudah lama ada sejalan dgn pembentukan negara-bangsa (nation state), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pda Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles).

Konsep itu (blm dgn istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga mnjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa’, Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi’, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mmpengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesqiu, John Lock, atau Hegel.

Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini brkembang hingga masa modern pda pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi.

Di kalangan Muslim konsep ini brkembang sejalan dgn perkembangan negara-bangsa (nation state atau al-wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mngemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sebagai pdanan citizenship. Trakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) mnjadi pilihan dunia trutama dlm bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan brsama).

Pesan Bogor
Dlm Pesan Bogor yng dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah atau konsep muwathanah mnjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yng pertama: i’tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah).

Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yng brorientasi pda Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yng brpangkal pda pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang brada, dan brlanjut pda peran serta aktif mmbangun negara.

Konsep ini sebenarnya didasarkan pda pemahaman tentang dokumn-dokumn dasar dlm sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.

Dlm konteks kragaman bentuk pemrintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah atau kewarganegaraan mnjadi krusial. Arus migrasi antarnegara trakhir ini mmbawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran.

Maka isu muwathanah atau citizenship mnjadi krusial dan polemikal seperti yng trjadi di Eropa dan Amrika sehubungan dgn mmbanjirnya arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.

Dlm konteks Indonesia isu muwathanah atau kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai—bukan mnjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh kerana Indonesia dari awal kelahirannya sudah mmiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yng oleh semua pihak—seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Krukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018—keduanya dianggap mrupakan kristalisasi nilai-nilai agama.

Seblmnya, pda 2015, Muhammadiyah sudah mnegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul ‘Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dlm kaitan ini, konsep muwathanah tdk ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktikkan dlm kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Derajat stabilitas dan krukunan nasional yng tinggi adalah buah dari muwathanah yng brtumpu pda ko-eksistensi, toleransi, dan krja sama antaranak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan ekskkusi lebih mrupakan ekspresi dari aksi-reaksi trhadap masih adanya kesenjngan sosial-ekonomi.

Implemntasi muwathanah atau kewarganegaraan mnjadi brsifat kontroversial trkait dgn paradigma demokrasi yng dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi political librty and equality (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah mnuntut pembrlakuan mritokrasi (performa dan rekrutmn politik brdasarkan prestasi individual.

Sebagai konsekwensi logis, tdk ada dan tdk relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dgn realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yng ditrapkan akan brsifat kultural.

Problema yng blm dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mngandung arti Demokrasi Libral (Libral Democracy) yng antara lain mndesakkan psudo mritokrasi, ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yng mnuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya.

Pilihan bangsa trhadap corak demokrasi yang ingin ditrapkan brhubungan erat dgn konsep muwathanah yng perlu kita pahami. Maka pda hemat saya, tafsir jama’i trhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mndesak tinimbang mngangkat isu muwathin atau warga negara dgn mngaitkannya pda istilah kafir trutama pda suasana politik sensitif yng rentan mmunculkan prasangka buruk yng tdk semstinya. Di sinilah letak krancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dgn konsep teologis-etis.

Tapi mungkin dpt dipahami maksudnya: Jnganlah mmbawa-bawa agama ke dlm politik—seperti mnyebut istilah kafir kepda sesama anak bangsa kerana mreka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin.

Kalau demikian adanya, maka itu mrupakan “pandangan hukum keagamaan atau fatwa”. Oleh kerana itu trserah kepda “pasar bebas”, mau mmbeli atau mnolak. Maka tdk usah ribut dan repot.

Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral “Jngan mudah mnuduh dan melabeli pihak lain secara brburuk sangka, kerana itu tdk brmoral atau mncerminkan moralitas superior dan arogan”.

Maka, kepda umat Islam, mulai sekarang jngan ada lagi yng saling mngkafirkan, saling mnghina! Sesuai Firman Ilahi, “Yng mnghina blm tentu lebih baik dari yng dihina.” Allahu a’lam bis shawab.

Artikel ini sudah dimuat di : https://pwmu.co/ Dengan Judul : Istilah Kafir Jadi Polemik Berkepanjangan, Ini Pandangan Din Syamsuddin
Asep Rois
Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter