-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Kisah Ketika Umar bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah

Posting Komentar

Salam, berjumpa kembali dengan mimin disini, pada kesempatan kali ini, postingannya akan membawakan pembahasan mengenai kisah para tabi'in,  Kisah Ketika Umar bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah silahkan simak selengkapnya ya...



Di antara kebaikan-kebaikan Sulaimana bin Abdul Malik ialah bahwa dia berkenan menerima nasihat dari seorang ulama ahli fikih, Raja’ bin Haiwah al-Kindi, yang mengusulkan ketika Sulaiman pada keadaan ambruk dengan akhirnya wafat, biar mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya. Akhirnya Sulaiman menetapkan warkat wasiat yang tidak memberi celah bagi setan sedikit pun (Ashr ad-Daulatain al-Umawiyah wa al-Abbasiyah, Hal: 37). Ibnu Sirin mengatakan, “Semoga Allah merahmati Sulaiman, dia mengawali kekhalifahannya dengan menghidupkan shalat dengan mengakhirinya dengan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya.”

Khalifah Sulaiman gugur tahun 99H, Umar bin Abdul Aziz menshalatkan jenazahnya, tertulis pada stempelnya, “Aku beragama kepada Allah dengan ikhlas.” (Siyar A’lam Nubala, 5: 11-12).

Ada beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut ialah yang dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad pada ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail, dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna hijau dari wol, dia bercermin dengan berkata, ‘Aku ialah raja muda’. Lalu dia berhenti untuk menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia langsung ambruk begitu pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya Ayyub. Ayyub ialah anak yang belum dewasa, aku berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kealiman seseorang yang mengalir ke kuburnya ialah bahwa dia mengangkat orang shaleh sesudahnya’. Sulaiman berkata, ‘Surat wasiat ini, aku masih beristikharah kepada Allah, masih mempertimbangkan, dengan belum memutuskan dengan pasti.’

Satu atau dua hari sehabis itu Sulaiman membakar warkat tersebut, akan datang dia mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang Dawud bin Sulaiman?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda sendiri tidak tahu dia masih hidup atau menduga mati’. Sulaiman bertanya, ‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul Mukminin’. Aku berkata demikian karena aku sendiri masih mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar bin Abdul Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia ialah laki-laki yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah orangnya, tetapi andaikan aku mengangkatnya dengan tidak mengangkat seorang pun dari bawah umur Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mengatur tidak akan membiarkannya memimpin selama-lamanya, eksepsi andaikan aku menetapkan seseorang dari mengatur sehabis Umar. Aku akan mengangkat Yazid bin Abdul Malik sehabis Umar. –Pada saat itu Yazid sedang tidak berada di tempat, dia menjadi Amirul Haj- Hal itu akan membuat bawah umur Abdul Malik tenang dengan menerima’. Aku berkata, ‘Terserah Anda’.

Sulaiman bin Abdul Malik menulis warkat tangannya, ‘Dengan nama Allah yang Maha Pengasih berulang Maha Penyayang. Ini ialah warkat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya aku menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dengan sesudahnya kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah dengan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, karena musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel warkat tersebut.

Sulaiman akan datang meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal khalifah, biar mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dengan mengumpulkan mereka. Setelah mengatur berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’, bawalah warkat wasiatku kepada mereka, katakan kepada mengatur bahwa itulah warkat wasiatku, minta mengatur untuk membaiat orang yang aku tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja menyampaikan hal itu, mengatur berkata, ‘Kami mendengarkan dengan menaati sapa -- pun barang siapa yang tercantum di dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah abdi menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk, Sulaiman berkata kepada mereka, ‘Itu ialah wasiatku, -Sulaiman menunjuk kepada warkat yang ada di tangan Raja’ dengan mengatur memandang warkat tersebut- Itu ialah pesan terakhirku, dengarkanlah, taatilah dengan baiatlah orang yang aku sebutkan namanya pada warkat wasiat tersebut’. Raja’ berkata, ‘Maka mengatur membaiatnya satu per satu’. Kemudian Raja’ membawa warkat yang berstempel itu keluar’.”

Raja’ berkata, “Manakala mengatur menduga meninggalkan tempat itu, Umar datang kepadaku, dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya Sulaiman sangat menghormati dengan menyayangiku, dia bersikap lembut dengan baik, aku khawatir dia menyerahkan sebagian perkara ini kepadaku, maka aku meminta kepadamu dengan nama Allah akan datang dengan kehormatan dengan kasih sayangku, biar engkau memberitahuku andaikan perkaranya demikian, sehingga aku bisa mengundurkan awak saat ini sebelum datangnya suatu keadaan dimana aku tidak mampu merubahnya lagi’. Raja’ menjawab, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan mengabarkan satu huruf pun kepadamu’. Maka Umar pergi dengan kesal.”

Raja’ berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dengan berkata, ‘Sesungguhnya antara diriku dengan dirimu terdapat hubungan baik dengan kasih sayang lama, aku pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah aku orang yang disebut pada warkat tersebut? Jika aku ialah orangnya, maka aku tahu. Jika orang lain, maka aku akan berbicara, orang sepertiku tidak patut dipandang sebelah mata, perkara seperti ini tidak pantas dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku berjanji dengan nama Allah kepadamu tidak akan menuturkan namamu selama-lamanya’.”

Raja’ berkata, “Aku menolak permintaan Hisyam, aku berkata, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu dari apa yang menduga dirahasiakan Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil menepukkan satu tangannya ke tangan yang lain, dia berkata, ‘Kepada sapa -- pun barang siapa perkara ini diserahkan andaikan tidak kepadaku, apakah abdi ini dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya aku ialah putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”

Raja’ berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia sudah wafat, namun aku masih mendapati saat-saat sakratul mautnya, setiap kali dia menghadapinya, maka aku menghadapkannya ke cita-cita kiblat, Sulaiman mengucapkan dengan tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya belum tiba sekarang’. Sampai aku mengulangnya dua kali, pada kali ketiga Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai Raja’, andaikan kamu ingin sesuatu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dengan bahwa Muhammad ialah hamba dengan utusan-Nya’.”

Raja’ berkata, “Maka aku menghadapkannya ke cita-cita kiblat, dengan Sulaiman wafat. Aku memejamkan kedua matanya, aku menyelimutinya dengan sebentuk kain hijau, aku menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk meminta izin memandang keadaannya, aku berkata kepadanya, ‘Dia menduga tidur dengan berselimut’. Utusan itu menduga memandang Sulaiman yang menduga berselimut kain, dia pulang menyampaikannya kepada istrinya, istrinya tenang karena dia mengira bahwa Sulaiman tidur.”

Raja’ berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk berdiri di pintu, aku berpesan kepadanya untuk tidak beranjak berbatas aku sendiri yang datang kepadanya dengan tidak memperkenankan sapa -- pun barang siapa pun untuk masuk menemui khalifah. Lalu aku memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, aku memintanya untuk mengumpulkan keluarga Amirul Mukminin, mengatur pun berkumpul di masjid Dabiq, aku berkata kepada mereka, ‘Berbaiatlah kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami menduga berbaiat, sekarang berbaiat lagi?’ Aku berkata, ‘Ini ialah pesan Amirul Mukminin, berbaiatlah untuk mematuhi perintahnya, mengakui sapa -- pun barang siapa yang disebutkan namanya pada warkat wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk kedua kalinya.”

Raja’ berkata, “Ketika mengatur bersedia membaiat untuk kedua kalinya, maka aku yakin menduga menata urusan ini sebaik mungkin, aku mengucapkan, ‘Jenguklah Khalifah Sulaiman, karena beliau menduga wafat’. Mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Kemudian aku membacakan isi warkat wasiat Sulaiman, ketika aku menyebut nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan memenggal lehermu, berdiri dengan berbaiatlah’. Lalu Hisyam berdiri dengan “menyeret” kedua kakinya.

Raja’ melanjutkan, “Aku memegang pundak Umar bin Abdul Aziz, aku mendudukkannya di atas mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Ia menyesali apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan ucapan yang sama karena bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan menduga berpindah tangan dari bawah umur Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena perkara itu berbatas ke tangannya padahal dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).

Abu al-Hasan an-Nadawi berkata tentang sikap Raja’, “Raja’ menduga melakukan sebentuk jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku tidak mengetahui seorang laki-laki dari kalangan sahabat raja dengan orang-orangnya, yang bisa memberi arti (dengan kedekatan dengan kedudukannya) seperti arti yang diberikan oleh Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).

Umar naik mimbar, dengan pada lihat muka pertama dengan rakyat, dia mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya aku menduga diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dengan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku menduga membatalkan baiat untukku, sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, abdi menduga memilihmu, abdi menerimamu, silahkan pimpin abdi dengan kealiman dengan keberkahan.”

Di saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar dari tanggung jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk menjelaskan kebijakan-kebijakannya pada menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du, tidak ada berulang nabi sehabis nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab yang diturunkan kepadanya.

Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan ialah halal berbatas hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dengan aku bukanlah aktor bid’ah melainkan aku ialah pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati pada kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya sahaja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.

Kaum muslimin, sapa -- pun barang siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat dengan lima perkara, andaikan tidak, maka janganlah mendekat: Pertama, mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua, membantuku pada kealiman sebatas kemampuannya, ketiga, menunjukkan jalan kealiman kepadaku sebagaimana aku dituntut untuk meniti jalan tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah akan rakyat, dengan kelima, tidak menyangkalku pada urusan yang bukan urusannya.

Aku berwasiat kepada kalian biar kalian bertakwa kepada Allah, karena takwa kepada Allah memberikan akibat yang baik pada setiap hal, dengan tidak ada kealiman apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) rahasia (yang ada pada awak kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, karena kematian ialah penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih karena dinar dengan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dengan tidak akan menghalangi hak seseorang.”

Kemudian Umar meninggikan suaranya biar orang-orang mendengar, “Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati dengan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya pada permasalahan tersebut. Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah, namun andaikan (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat pada hal itu…” akan datang Umar turun dari mimbar.

Begitulah prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah umat Islam, salah seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada hari Jumat, 11 Shafar 99 H (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).


Demikianlah pembahasan mengenai Kisah Ketika Umar bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah semoga tulisan ini bisa menambah wawasan untuk kita semua selain itu bisa berbuah manfaat bagi siapapun yang membaca tulisan ini. Bila ada kata yang keliru, mohon di koreksi lewat komentar dibawah ini. terima kasih

Artikel ini telah di muat di Kisahmuslim.com, link : https://kisahmuslim.com/3931-kisah-pengangkatan-umar-bin-abdul-aziz-menjadi-khalifah.html

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter