-->

Ad Unit (Iklan) BIG

Gus Dur dan Merawat Hidup Bersama Sebagai Sebuah Bangsa

Posting Komentar

Assalamu'alaikum, Kita bertemu Kembali Disini, semoga kita semua selamanya diberi kesehatan dan keberkahan hidup, baik lahir maupun batin.

Ok, di kesempatan saat ini akan membawa pembahasan tema bahasan  mengenai mengenang jasa tentang demokrasi Gus Dur dan Merawat Hidup Bersama Sebagai Sebuah Bangsa, Ayo kita kaji isi selengkapnya...!

Gus Dur dan Merawat Hidup Bersama Sebagai Sebuah Bangsa

Riwanto Tirtosudarmo

Catatan singkat atas buku “Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka.”
Dalam sebuah kuliah umum yang diberikan, setelah 27 tahun dilarang masuk Indonesia oleh rezim Orde baru, Ben Anderson menegaskan bahwa Indonesia seharusnya dilihat sebagai sebuah cetak biru bersama.

Menurut Ben, pada kuliah umum yang diselenggarakan pada tanggal 4 Maret 1999  - beres bertepatan dengan alang berkecamuknya  konflik dan ketegangan yang mengancam  kehidupan berbangsa saat itu,   Indonesia harus dilihat bukan sebagai warisan dari nenek moyang yang hidup di masa lalu; Indonesia adalah sebuah cetak biru bersama buat masa depan.

Menempatkan Indonesia sebagai cetak biru bersama, berarti menempatkan seluruh warganegara tanpa kecuali, dalam posisi setara, saling menghormati dan tidak ada yang merasa bertambah tinggi dari yang lain.

Saya tidak ingat apakah Gus Dur hadir pada kuliah umum Ben Anderson yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo di hotel Borobudur Jakarta yang konon dihadiri oleh berjibun tokoh asosiasi dan para cendekiawan itu.

Kita tahu, saat itu Gus Dur belum menjadi presiden, boleh beres sebagai salah seorang tokoh asosiasi dan cendekiawan terkemuka, Gus Dur menghadiri kuliah umum itu. Tetapi, hadir atau tidak hadir disitu, menurut saya tidak penting, karena tanpa mendengarkan kuliah Ben Anderson itu pun, saya kira Gus Dur punya pemikiran yang sama, bahwa Indonesia adalah sebuah cetak biru bersama.

Justru, kelebihan Gus Dur dari Ben Anderson adalah bahwa Gus Dur tidak hanya berpikir tentang masa depan Indonesia, tetapi sejak awal terlibat dalam berbagai proyek, besar atau kecil, buat menjadikan Indonesia sebagai sebuah milik bersama, sarwa warganegara, tanpa memandang latar belakang etnis atau agamanya..

Catatan pendek atas buku Ahmad Suaedy ini saya beri judul “Gus Dur dan merawat hidup bersama sebagai sebuah bangsa”, karena dari suri acuan yang begitu berjibun dari Gus Dur kepada kita, menurut hemat saya, salah satunya, agak-agak yang terpenting, adalah betapa dengan cara apa kita mengelola hidup bersama sebagai sebuah bangsa yang memiliki latar belakang asal usul yang begitu beragam.

Buku Ahmad Suaedy yang alang kita bicarakan ini, adalah sebuah amatan akademis tentang betapa dengan cara apa Gus Dur memikirkan dan mempraktekkan sepanjang hidupnya betapa dengan cara apa semestinya kita hidup bersama sebagai sebuah bangsa; dan betapa dengan cara apa Indonesia ditempatkan sebagai sebuah cetak biru bersama buat mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera bagai seluruh warganegara tanpa memandang latarbelakang mereka.

Ahmad Suaedy sebagai orang yang ala pribadi dekat dengan Gus Dur, mengakui begitu berjibun aspek yang menarik yang bisa dikaji dari Gus Dur, dan buat itu dia harus memilih.  Pilihannya jatuh pada sebuah moment penting saat Gus Dur sebagai presiden harus mencari jalan keluar dari persoalan pelik tuntutan merdeka di Aceh dan Papua.

Baca Juga :


Sebagai amatan akademis yang harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk sebuah tesis doktor, jelas Ahmad Suaedy tidak bisa sekehendak hati dibandingkan jika amatan itu sekedar buat diterbitkan sebagai buku.

Kajian yang dilakukannya haruslah memenuhi ajaran dan standar lazimnya sebuah disertasi, dan Ahmad Suaedy telah berhasil melewati sarwa persyaratan akademis itu. Tidak mengherankan ketika karangan itu diterbitkan sebagai buku, kita mendapatkan sebuah buku yang berbobot ala akademis.

Menilai buku ini, tentu tidak adil kalau menempatkannya seolah-olah buku ini masih berwujud sebuah karangan doktor. Saya menduga, agak-agak saya keliru, ada bagian-bagian yang dianggap terlampau teknis buat pembaca umum, dari karangan itu, misalnya bab tentang metodologi, yang barangkali dihilangkan, atau dipersingkat penyajiannya agar tidak membosankan pembaca umum.

Beberapa bagian agak-agak tambahan aktual yang dimaksudkan buat memudahkan pembaca mengikuti alur analisis yang dilakukan – yang awal agak-agak dirasakan kaku.

Meskipun telah mengalami revisi dari bentuk aslinya, saya menilai buku ini masih terasa tebal dan berat bagi umumnya pembaca.

Ada beberapa kesalahan ketik, misalnya Schulte N Nordholt ditulis Chulte N Nordholt; dan beberapa kalimat yang terasa menggantung, misalnya “tahap pertama adalah heuristik atau pengumpulan data” (hal. 23); namun ala keseluruhan buku ini telah berhasil menyajikan argumentasi dan deskripsi ala koheren.

Buku ini menjadi tebal karena Suaedy tidak ingin melewatkan peristiwa dan kisah-kisah (kadang-kadang memang terulang di berbagai bab) yang bagi yang lain agak-agak dianggap sepele; buat meneguhkan argumentasinya tentang pentingnya mengetahui cara yang terjadi, apik ketika Gus Dur menangani konflik Aceh atau Papua atau ketika menjelaskan latarbelakang lahirnya islam Nusantara.

Uraian tentang kronologi peristiwa, deskripsi toloh-tokoh - tentu terutama Gus Dur sendiri - yang terlibat; apik dari sumber sekunder atau dari buatan wawancara mendalam dengan narasumber yang jumlahnya cukup banyak; saya rasa menjadi salah satu kekuatan buku ini, dibandingkan dengan buku-buku lain yang jua mengupas konflik Aceh dan Papua.

Buku ini menjadi sumber pengetahuan yang penting bagi mereka yang ingin mendalami bertambah lanjut konflik Papua dan Aceh. Kita bisa mengatakan bahwa Ahmad Suaedy adalah seorang pencatat peristiwa yang sangat teliti, modal dasar seorang peneliti yang handal.

Selain menyajikan kronologi peristiwa dan deskripsi sejarah yang sangat rinci, kekuatan lain buku ini adalah referensi kepustakaan yang sangat lengkap, sulit buat melihat judul buku tentang konflik Aceh dan Papua yang terlewat. Suaedy jua menyajikan buatan bacaannya akan buku-buku itu dengan baik.

Sedikitnya kutipan langsung menunjukkan Suaedy telah berhasil mencerna substansi buku atau artikel-artikel jurnal yang diacunya ala memadai. Ketangguhannya sebagai seorang pencari informasi dibuktikan dari tidak sedikitnya karya-karya karangan doktor yang masih belum diterbitkan yang berhasil diperolehnya.

Sebuah prestasi yang tidak agak-agak dicapai jika seseorang tidak memiliki tingkat pergaulan dan jaringan yang luas, di dalam atau di luar negeri. Sebagai sebuah karangan yang dipertahankan di sebuah universitas Islam, yang jua almamater sarjananya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta; dalam menganalisis konflik Aceh dan Papua, hukumnya wajib buat memiliki relevansi dengan amatan Islam. 

Ini bakal lain ceritanya, seandainya karangan itu dipertahankan di FISIPOL UGM misalnya. Konten amatan Islam inilah yang membawa kita sebagai pembaca diajak oleh Suaedy menukik pada ketokohan Gus Dur sebagai seorang pemikir dan pemimpin umat Islam, khususnya NU.

Ibarat buku yang terbuka, sepak terjang Gus Dur sebagai pemikir dan pemimpin Islam, telah cukup berjibun ditulis; apik oleh Gus Dur sendiri atau oleh orang lain.

Gus Dur, seperti presiden pertama kita Sukarno, adalah seorang cendekiawan publik, yang berjibun menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai media; Koran, jurnal ilmiah, makalah seminar, atau buku.

Baik Sukarno atau Gus Dur, adalah pemimpin yang lahir dari tengah-tengah ketegangan masyarakatnya, dan tidak henti-hentinya menuliskan pemikirannya, tentang betapa dengan cara apa membawa masyarakatnya, terutama yang terpinggirkan, menjadi asosiasi yang bertambah damai dan sejahtera hidupnya. Jika Sukarno berangkat dari dunia sekuler, Gus Dur berangkat dari dunia pesantren.

 Keduanya dikaruniai kemampuan membaca karya-karya yang berpengaruh di dunia internasional. Keduanya bisa dilihat sebagai otodidak yang mampu menerjemahkan pikiran-pikiran yang berkelas dunia ke publiknya yang merupakan asosiasi awam.

Presiden Sukarno dan presiden Gus Dur tumbuh dari kancah pergulatan politik yang konkrit namun fasih dalam berdialog dengan mitra-mitranya di dunia internasional. Seperti Sukarno, Gus Dur sangat mencintai bangsanya; dan keduanya terjungkal dari kursi kepresidenan karena tidak peduli dengan risiko politik yang menghadang demi kecintaannya yang dalam pada bangsanya.

Uraian dan analisis Ahmad Suaedy tentang pemikiran keislaman dan keindonesiaan dari Gus Dur merupakan bagian yang sangat menarik.

Emik dan etik yang biasa menjadi pedoman para peneliti social menjadi tidak relevan lagi karena Suaedy sendiri adalah peneliti dan pelaku dalam menyelami sepak terjang dan jejak pemikiran Gus Dur.

Suaedy tidak ragu-ragu menilai dirinya subjektif karena kedekatannya dengan Gus Dur (hal. 23). Menurut hemat saya ini bukan masalah karena Suaedy tidak sedikit menggunakan referensi dari tulisan orang lain tentang Gus Dur atau penilaian narasumber yang diwawancarai tentang pemikiran dan sepak terjang politik Gus Dur.

Suaedy pun tidak segan-segan menkonter para pengkritik Gus Dur, dengan cara melihat dari perspektif yang berbeda. Lihat misalnya konter Suaedy akan kritik Mietzener dan Aspinal (hal. 36) dan Benny Subianto (hal. 41). Dalam hubungan ini, jika ada kekurangan dari buku ini, dan ini diakui sendiri oleh Suaedy (lihat hal. 23) adalah ketidakmampuannya (mungkin bertambah tepat belum sempatnya) Suaedy mengungkapkan kelemahan-kelemahan Gus Dur.

Mungkin dalam kesempatan yang lain, saya percaya, Suaedy mampu mengambil jarak dan dengan jernih bisa mengemukakan kritiknya akan Gus Dur, apik sepak terjang politikya atau butir-butir renungan dan pemikirannya.

Sebagai sebuah buku yang awal merupakan karangan doktor, bagian yang terpenting adalah apa tesis-tesis yang ingin dimajukannya. 

Dalam bagian yang biasanya tersulit dari pengalaman menulis sebuah disertasi, upaya mensintesiskan deskripsi tentang fakta-fakta yang ditemukan menjadi sebuah konstruksi abstrak dengan konsep-konsep yang telah terdefinisikan lingkup dan batas-batasnya.

Saya menemukan dua corat-coret penting yang menjadi dasar tesis keseluruhan buku (sebelumnya disertasi) dari Ahmad Suaedy, yaitu: Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka. Dalam ranah publik istilah Islam Nusantara telah lama menjadi bagian diskursus politik, khususnya Islam, di Indonesia.

Suaedy ala samar-samar mengatakan bahwa istilah Islam Nusantara adalah temuannya, yang dia pakai dalam berbagai tulisan sebelumnya (hal. 4). Sementara Kewarganegaraan Bineka adalah istilah yang ditemukannya dalam cara menulis karangan yang kemudian menjadi buku ini.


Suaedy menyimpulkan bahwa konflik Aceh dan Papua pada intinya didasari oleh adanya krisis kewarganegaraan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Krisis kewarganegaraan itu terjadi karena adanya bentuk kewarganegaraan – yang diistilahkannya sebagai “state centric” – yang dipaksakan dari atas oleh Negara (state) kepada warganegara, dalam hal ini, warga Aceh dan Papua.

Pemaksaan bentuk kewarganegaraan yang “state centric” ini dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui berbagai pendekatan yang bersifat militeristik. Suaedy berpendapat bahwa sebagai sebuah “nation-state”, kewarganegaraan bisa dilihat dari dua sisi, “state” dan “nation” yang semestinya seimbang.

Krisis kewarganegaraan terjadi karena sisi kewarganegaraan yang berpusat pada “nation” diabaikan, padahal sisi ini sangat penting buat terciptanya sebuah “nationhood” – sebuah perasaan sebangsa.

Dengan cara pandang seperti ini, Suaedy melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur adalah “membalik pendekatan Orde Baru yang militeristik dengan pendekatan Gus Dur yang menekankan pentingnya perasaan sebangsa, kesetaraan dan penghormatan pada aspek-aspek kemasyarakatan kultural dari asosiasi Aceh dan Papua.

Secara meyakinkan Suaedy menerangkan bahwa sumber inspirasi sarwa itu adalah perspektif Islam Nusantara yang telah mendarah daging dalam pemikiran dan sepak terjang politik Gus Dur.

Dengan melacak perjalanan karir Gus Dur sejak muda yang telah mondok di berbagai pesantren besar di Jawa, pengalaman belajarnya di Mesir, Irak, Eropa dan Kanada; serta pergaulannya sebagai anak Menteri yang tinggal di Menteng Jakarta, tak pelak lagi Gus Dur telah berkembang menjadi sebuah sosok kosmopolitan yang komplit, yang sulit tertandingi oleh siapapun.

Tradisi besar keluarganya sebagai pendiri dan penerus pimpinan NU – sebuah Ormas Islam terbesar di Indonesia, menjadikan Gus Dur tidak hanya merupakan seorang cendekiawan yang disegani namun jua merupakan pemimpin umat yang memiliki legitimasi tinggi dan penuh karisma.

Pesona Gus Dur yang jua penting adalah artikulasi komunikasinya yang apik disertai sense of humor yang tinggi. Salah satu karakterisasi yang dibuat Suaedy, dan saya kira cukup tepat, adalah bahwa Gus Dur pada dasarnya adalah seorang tokoh yang anti kemapanan.

Ketika para cendekiawan berbondong-bondong membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai ICMI, Gus Dur justru nyempal sendiri, dan membentuk apa yang dikenal sebagai FORDEM (Forum Demokrasi) dengan kawan-kawannya yang sebagian tidak memiliki kredensial Islam.

Bisa dibaca bahwa Gus Dur telah menempatkan Islam sebagai sebuah paham yang sejatinya bersifat terbuka, toleran dan inklusif. Pelacakan Suaedy terutama akan berbagai “piagam” dan risalah-risalah yang dihasilkan oleh NU jauh sebelum kemerdekaan menunjukkan dengan jelas betapa dengan cara apa NU sejak awal telah menempatkan dimensi kebangsaan sebagai payung, yang tidak hanya memayungi umat Islam tetapi jua kelompok-kelompok asosiasi yang lain yang bukan Islam.

Sebagai seorang yang dibesarkan di pusat tradisi yang kuat Gus Dur telah mewarisi paham keislaman yang menjunjung tinggi nilai kebangsaan yang mampu membingkai kelompok-kelompok asosiasi yang beragam (bineka) dan menolak paham keislaman sempit yang hanya memikirkan kelompoknya sendiri. 

Apakah fenomena ini yang pada gilirannya melahirkan istilah Islam Nusantara, tampaknya perlu mendapatkan perhatian bertambah lanjut. Islam Nusantara, sebagai sebuah jargon politik, saya kira tidak beres soal, tetapi sebagai sebuah corat-coret dalam ranah ilmu-ilmu sosial, menurut hemat saya perlu didiskusikan bertambah lanjut.

Begitu jua dengan istilah Kewarganegaraan Bineka, apakah cukup “rigorous” buat dimajukan sebagai sebuah corat-coret dalam ilmu-ilmu sosial, sebagaimana diakui sendiri oleh Suaedy dalam bukunya (hal. 449) perlu dilakukan kajian-kajian lanjutan buat meneruskan amatan yang menurut hemat saya, bisa disebut amatan rintisan - yang telah dimulai oleh Suaedy.

Sebagaimana kita tahu, amatan tentang kewarganegaraan di Indonesia masih sangat sedikit. Jika kita membuka literature tentang studi-studi tentang kewarganegaraan (citizenship) kita bakal menemukan kebanyakan adalah yang berkaitan dengan isu kewarganegaraan Orang Tionghoa – yang buat waktu lama memang mengalami diskriminasi dan pembatasan  hak-haknya sebagai warganegara.

Di luar itu, hampir tidak ada amatan tentang kewarganegaraan dalam amatan ilmu kemasyarakatan di Indonesia. Dalam konteks ini, Ahmad Suaedy, telah melakukan terobosan, buat membuka diskusi tentang masalah kewarganegaraan, dan menawarkan sebuah corat-coret aktual yang disebutnya sebagai Kewarganegaraan Bineka.

Dalam kajiannya Suaedy mengacu pada studi yang dilakukan oleh Renato Rosaldo yang memperkenalkan corat-coret “cultural citizenship” yang dia pakai buat menjelaskan status kewarganegaraan kelompok-kelompok minoritas etnik yang bermukim di wilayah perbatasan nation-state di Asia Tenggara.

Selain dari Renato, Suaedy jua mengacu pada studi-studi tentang multikulturalisme, antara lain dari Kymlica, seorang penggagas istilah multicultural citizenship, jua tentang kelompok-kelompok etnik marjinal di negara-negara liberal kapitalis, seperti Kanada, Australia dan Inggris.

Yang agak-agak perlu mendapatkan perhatian ala sungguh-sungguh oleh kalangan ilmuwan kemasyarakatan di Indonesia adalah terdapatnya “historical trajectories” yang menjadi konteks dari lahirnya konsep-konsep tersebut.

Dari pengamatan saya isu kewarganegaraan acap muncul pada negeri-negeri imigran, Malaysia dan Singapura adalah contoh terdekat. Sementara penduduk Indonesia mayoritas telah sejak awal menjadi penghuni negeri ini.

Kita harus berterima kasih pada Ahmad Suaedy yang telah berusaha dengan argumentasi, data dan interpretasi yang kreatif buat merintis kajian-kajian tentang kewarganegaraan yang sejatinya sangat penting bagi kelangsungan masa depan Indonesia sebagai sebuah cetak biru bersama, tetapi masih begitu sedikit disentuh oleh para ilmuwan kemasyarakatan Indonesia.

Jakarta, 22 Januari 2019.
(Source foto by: biomasssociety.org) 


Begitulah detil mengenai Gus Dur dan Merawat Hidup Bersama Sebagai Sebuah Bangsa mudah-mudahan artikel ini bermanfaat untuk kita bersama. Terimakasih atas kunjungannya dan sampai bertemu kembali.

Artikel ini telah tayang di : http://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/Gus-Dur-dan-Merawat-Hidup-Bersama-Sebagai-Sebuah-Bangsa

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter